Kamis, 26 November 2009

LAPORAN PENDAHULUAN
ANAK
DENGAN FEBRIS TYPOID



Typhoid adalah penyakit infeksi yang di sebabkan oleh Salmonella typhosa atau Salmonella typhi A, B, atau C. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung kurang lebih 3 minggu di sertai dengan gejala-gejala demam, nyeri perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit. Penyakit ini termasuk dalam penyakit daerah tropis, dan penyakit ini sangat sering di jumpai di Asia termasuk di Indonesia (Betz, 2002).
Berdasarkan artikel yang diakses dari www.who_pediatric.com di dunia pada tanggal 27 September 2005 sampai dengan 11 Januari 2007 WHO mencatat sekitar 42.564 orang menderi typhoid dan 214 orang meninggal. Penyakit ini biasanya menyerang anak-anak usia pra sekolah maupun sekolah akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga menyerang orang dewasa (Robert, 2007).

1. Pengertian
Febris typhoid adalah merupakan salah satu penyakit infeksi akut usus halus yang menyerang saluran pencernaan disebabkan oleh kuman salmonella typhi dari terkontaminasinya air / makanan yang biasa menyebabkan enteritis akut disertai gangguan kesadaran (Suriadi dan Yuliani, R., 2001).
Demam typhoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi salmonella typhi yang ditandai dengan malaise (Corwin, 2000).
2. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005) penyebab utama dari penyakit ini adalah kuman Salmonella typhosa, Salmonella typhi, A, B, dan C. Kuman ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia, dan makanan atau minuman yang terkena kuman yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higienis.
Salmonella typosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu antigen O, antigen somatik yang tidak menyebar, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida, antigen Vi (kapsul) yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis dan antigen H (flagella). Ketiga jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukkan tiga macam antibody yang biasa disebut agglutinin (Arif Mansjoer, 2000).

3. Patofisiologi
Corwin (2000) mengemukakan bahwa kuman salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque pleyeri di liteum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella typhi kemudian menembus ke dalam lamina profia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesentrial yang juga mengalami hipertropi.
Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, salmonella typhi masuk aliran darah melalui duktus toracicus. Kuman-kuman salmonella typhi mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di plaque pleyeri, limfe, hati dan bagian-bagian lain dari sistem retikulo endotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala syoksemia pada demam typhoid disebabkan oleh endotoksemia, tetapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin salmonella typhi salmonella typhi berperan dalam patogenesis demam typhoid, karena membantu proses terjadinya inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam pada typhoid disebabkan karena salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan septi pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

4. Manifestasi Klinik
Menurut Corwin (2000) proses bekerjanya bakteri ini ke dalam tubuh manusia cukup cepat, yaitu 24-72 jam setelah masuk, meski belum menimbulkan gejala, tetapi bakteri telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Rentang waktu antara masuknya kuman sampai dengan timbulnya gejala penyakit, sekitar 7 hari. Gejalanya sendiri baru muncul setelah 3 sampai 60 hari. Pada masa-masa itulah kuman akan menyebar dan berkembang biak.
Soedarto (2007) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang umum ditemui pada penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan dengan perincian :
1. Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat dikrotik, dengan denyut nadi 80-100 per menit.
2. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa dapat diraba.
3. Minggu ketiga,
a. Jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan keluhan berkurang.
b. Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinensia alvi dan urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik.
4. Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid menurut Corwin (2000) antara lain :
a. Pemeriksaan Leukosit
Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif tetap kenyataan leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris typhoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi pada berada dalam batas normal, walaupun kadang-kadang terikat leukositanis tidak ada komplikasi berguna untuk febris typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya febris typhoid, kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
c. Kenaikan Darah
Gerakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-) tidak menyingkirkan febris typhoid. Hal ini karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
1) Tekhnik pemeriksaan laboratorium.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
3) Laksinasi di masa lampau.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
d. Uji Widal
Suatu uji dimana antara antigen dan antibodi yang spesifik terhadap saluran monolle typhi dalam serum pasien dengan febris typhoid juga pada orang yang pernah terkena salmonella typhi dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap febris typhoid dengan tujuan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita febris typhoid. Hasil pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai ≥ 1/200 atau peningkatan ≥ 4 kali antara masa akut dan konvalesens mengarah pada demam typhoid, meskipun dapat terjadi positif ataupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella.
Diagnosis mikrobiologis merupakan metode diagnosis yang paling spesifik. Kultur darah dan sum-sum tulang positif pada minggu pertama dan kedua, sedang minggu ketiga dan keempat kultur tinja dan kultur urin positif (Wong, 2003).



6. Penatalaksanaan
Penderita tifus perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi (agar penyakit ini tidak menular ke orang lain). Penderita harus istirahat total minimal 7 hari bebas panas. Istirahat total ini untuk mencegah terjadinya komplikasi di usus. Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak berserat. Sayuran dengan serat kasar seperti daun singkong harus dihindari, jadi harus benar-benar dijaga makanannya untuk memberi kesempatan kepada usus menjalani upaya penyembuhan.
Pengobatan yang diberikan untuk pasien febris typoid adalah antibiotika golongan Chloramphenicol dengan dosis 3-4 x 500 mg/hari; pada anak dosisnya adalah 50-100 mg/kg berat badan/hari. Jika hasilnya kurang memuaskan dapat memberikan obat seperti :
a. Tiamfenikol, dosis dewasa 3 x 500 mg/hari, dosis anak: 30-50 mg/kg berat badan/hari.
b. Ampisilin, dosis dewasa 4 x 500 mg, dosis anak 4 x 500-100 mg/kg berat badan/hari.
c. Kotrimoksasol ( sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80 mg ) diberikan dengan dosis 2 x 2 tablet/hari.
Dan untuk pencegahan agar tidak terjangkit penyakit febris typoid perlu memperhatikan beberpa hal sebagai berikut :
a. Harus menyediakan air yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari tempat yang higienis, seperti sumur dan produk minuman yang terjamin. Jangan gunakan air yang sudah tercemar. Apabila menggunakan air yang harus dimasak terlebih dahulu maka dimasaknya harus 1000C.
b. Menjaga kebersihan tempat pembuangan sampah.
c. Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya secara sembarangan sehingga mengundang lalat karena lalat akan membawa bakteri Salmonella typhi.
d. Bila di rumah banyak lalat, basmilah hingga tuntas.
e. Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup dan teratur, olah raga secara teratur 3-4 kali seminggu). Hindarilah makanan yang tidak bersih. Belilah makanan yang masih panas sehingga menjamin kebersihannya. Jangan banyak jajan makanan/minuman di luar rumah.
(Soedarto, 2007)







7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien dengan febris typhoid menurut Doenges (2002) adalah
1) Aktivitas atau istirahat
Gejala yang ditemukan pada kasus febris typhoid antara lain kelemahan, malaise, kelelahan, merasa gelisah dan ansietas, cepat lelah dan insomnia.
2) Sirkulasi
Tanda takikardi, kemerahan, tekanan darah hipotensi, kulit membrane mukosa kotor, turgor buruk, kering dan lidah pecah-pecah akan ditemukan pada pasien febris typhoid.
3) Integritas ego
Gejala seperti ansietas, emosi, kesal dan faktor stress serta tanda seperti menolak dan depresi juga akan ditemukan dalam pengkajian integrits ego pasien.
4) Eliminasi
Pengkajian eiminasi akan menemukan gejala tekstur feses yang bervariasi dari lunak sampai bau atau berair, perdarahan per rectal dan riwayat batu ginjal dengan tanda menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik dan ada haemoroid.

5) Makanan dan cairan
Pasien akan mengalami anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan dan tidak toleran terhadap diet. Dan tanda yang ditemukan berupa penurunan lemak sub kutan, kelemahan hingga inflamasi rongga mulut.
6) Hygiene
Pasien akan mengalami ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri dan bau badan.
7) Nyeri atau ketidaknyamanan
Nyeri tekan pada kuadran kiri bawah akan dialami pasien dengan titik nyeri yang dapat berpindah.
8) Keamanan
Pasien mengalami anemia hemolitik, vaskulotis, arthritis dan peningkatan suhu tubuh dengan kemungkinan muncul lesi kulit.
b. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pathway keperawatan maka diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus febris typhoid antara lain :
1) Hypertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
2) Nyeri berhubungan agen injuri (biologi)
3) Kurang volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme pengaturan termoregulasi.
4) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena faktor biologi.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko pertahanan primer tidak adekuat














No.
Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1. Hypertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
1. Thermoregulation
2. Thermoregulation : neonatus Fever treatment
1. Monitor suhu sesering mungkin
2. Monitor IWL
3. Monitor warna dan suhu kulit
4. Monitor tekanan darah. Nadi dan RR
5. Monitor penurunan tngkat kesadaran
6. Monitor WBC, Hb, Hct
7. Monitor intake dan out put
8. Berikan antipiretik
9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
12. Berikan cairan intra vena
13. Kompren pasien pada lipat paha dan aksila
14. Tingkatkan sirkulasi udara
15. Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
2. Rencanakan monitoring suhu secara kontineu
3. Monitor TD, nada dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
12. Berikan antipiretik jika perlu
Vital sign monitoing
1. Monitor TD, Nadi dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS pada saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi dan RR sebelum, sesudah dan selama aktivitas
6. Monitor koalitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernafasan abnormal
10. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
11. Monitor perifer
12. Monitor adanya chusing triad (TD yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri biologi 1. Tingkat kenyamanan
2. Kontrol nyeri
3. Nyeri : efek yang merusak
4. Tingkat nyeri Pain Management :
1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik serta onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas / beratnya, nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dan ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
4. Kaji latarbelakang budaya pasien
5. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis
6. Evaluasi tentang keefektifan dan tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan
7. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga
8. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
9. Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama terjadi dan tindkaan pencegahan
10. Anjutkan pasien untuk memonitor sendiri nyerinya
11. Anjurkan penggunaan tekhnik non farmakologis (relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase, TENS, hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresure)
12. Berikan analgetik sesuai anjuran
13. Evaluasi ketidakefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
14. Modifikasi tindakan nyeri berdasarkan respon pasien
15. Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup
16. Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
17. Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya / anggota kleuarga saat tindakan non farmakologi dilakukan, untuk pendekatan prefentif
20. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri
21. Monitor perubahan nyeri dan bantu pasien mengidentifikasi faktor presipitasi nyeri baik aktual dan potensial
22. Lakukan pengkajian terhadap pasien dengan nyaman dan lakukan monitoring dari rencana yang dibuat
23. Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat meningkatkan pengalaman nyeri (rasa takut, kelelahan dan kurang pengetahuan)
24. Pertimbangan pasien untuk berpartisipasi, dukungan dari keluarga dekat dan kontraindikasi ketika strategi penurunan nyeri telah dipilih
25. Lakukan tekhnik variasi untuk mengontrol nyeri (farmakologi, non frmakologi dan interpersonal)
26. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri
Analgetik administration :
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang pemberian
bat, dosisi dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secra IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
3. Kurang volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme pengaturan termoregulasi. 1. Electrolyte and acid / base balance
2. Fluid balance
3. Hydration
4. Nutritional status : food and fluid intake Fluid management
1. Timbang popok / pembalut jika perlu
2. Pertahankanian ite dan outuyang akurat
3. Monitor status hidrasi (kelembaban membarn mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik) jika diperlukan
4. Monitor vital sign
5. Monitor masukkan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
6. Kolaborasikan pemberian cairan IV
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan IV pada suhu ruangan
9. Dorong masukkan oral
10. Berikan pemberian nasogastrik sesuia output
11. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
12. Tawarkan snack (jus buah, buah segar)
13. Kolaborasi okter jika tanda cairan berlebihan muncul memburuk
14. Atur kemungkinan tranfusi
15. Persiapan untuk tranfusi
4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena faktor biologi. 1. Nutritional status
2. Nutritional status : food and fluid intake
3. Nutritional status : nutrition intake
4. Weight control Manajemen Nutrisi:
1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
2. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
3. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
4. Dorong asupan zat besi
5. Berikan gula tambahan k/p
6. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang mudah dikonsumsi
7. Ajarkan keluarga cara membuat catatan makanan
8. Monitor asupan nutrisi dan kalori
9. Timbang berat badan secara teratur
10. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya
11. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
12. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
Monitor nutrisi
1. BB klien dalam interval spesifik
2. Monitor adanya penurunan BB
3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang mengharuskan makan.
5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6. Monitor lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam makan.
8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah, peningkatan perdarahan, dll.
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15. Monitor makanan kesukaan.
16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan konjungtiva.
19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah dan cavitas oral.
21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko pertahanan primer tidak adekuat
1. Immune status
2. Knowledge : infection control
3. Risk control Kontrol Infeksi:
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
9. Lakukan universal precautions
10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV dan insersi cateter
12. Tingkatkan asupan nutrisi
13. Anjurkan asupan cairan
14. Anjurkan istirahat
15. Berikan terapi antibiotik (kolaborasi)
16. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi
Proteksi Terhadap Infeksi :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Pertahankan tekhnik aseptik pada pasien yang beresiko
7. Pertahankan tekhnik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kulit pada are epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat cukup
14. Ajarkan keluarga tanda dan gejala infeksi
15. Laporkan kecurigaan infeksi
16. Laporkan kultur positif




DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta.

Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI, Jakarta.

Nanda, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi, Prima Medika, Jakarta.

Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Robert, 2007, Penyakit – Penyakit Tropis, Artikel diakses dari www.who_peditric.com

Soedarto, 2007, Sinopsis Kedokteran Tropis, Airlangga Universitas Press, Surabaya.

Suriadi dan Yuliani, R., 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, CV. Sagung Seto, Jakarta.

Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta.

Wong, D. L., 2003, Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik, EGC, Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
ANAK
DENGAN DIARE


A. Pengertian
Diare adalah buang air besar konsistensi lembek /cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari). Diare akut (gastroenteritis) adalah inflamasi lambung dan usus yang diseabbkan oleh berbagai bakteri virus dan patogen parasitik. Diare adalah buang air besar (BAB) lebih dari tiga dengan konsistensi cair (WHO, 1992).

B. Klasifikasi
Jenis diare sebagai berikut :
a. Menurut perjalanan penyakit :
- Akut : jika kurang dari 1 minggu
- Berkepanjangan : jika antara 1 minggu sampai 14 hari
- Kronis : jika > 14 hari dan disebabkan oleh non infeksi
- Persisten : Jika >14 hari dan disebabkan oleh infeksi
b. Menurut patofisiologi :
- Gangguan absorbsi
- Gangguan sekresi
- Gangguan osmotik
c. Menurut penyebab :
- Infeksi : Virus, bakteri, parasit,jamur
- Konstitusi
- Malabsorbsi
d. Diare dengan masalah lain. Anak yang menderita diare mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti : demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
C. Penyebab
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor:
1. Infeksi
a. Infeksi entral : ialah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab diare pada anak meliputi infeksi interal sebagai berkut :
1) Infeksi bakteri: vibrio, E. coli, Salmonella, Sigela, Campylobakteri, Yersenia, Aerromonas dan sebagainya..
2) Infeksi virus : Entro virus, adenovirus, Rotavirus, Astovirus dll.
3) Infeksi parasit : Cacing protozoa dan jamur.
b. Infeksi Parentral ialah infeksi diluar alat pencernaan makan seperti otitis media akut (OMA) tonsillitis/ Tonsiloparingitis, bronkhopnemonia, encepalitis dsb. Keadaan ini terutama tedapat pada anak kurang dari 2 tahun
2. Faktor Malabsorsi
a. Malabsorisi karbohidrat
b. Malabsorsi lemak
c. Malabsorsi Protein
3. Faktor makanan: Makanan basi, beracun alergi terhadap makanan.
4. Psikologis : rasa takut dan cemas

D. Faktor penyebaran
Faktor yang meningkatkan penyebaran kuman penyebab diare:
1. Tidak memadainya penyediaan air bersih
2. Air tercemar oleh tinja
3. Pembuangan tinja yang tidak hygienis
4. Kebersihan perorangan dan lingkungan jelek
5. Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya
6. Penghentian ASI yang terlalu dini


E. Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:
1. Gangguan osmotic
Akibat terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkanya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsang tertentu ( Misalnya toksin pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus
3. Gangguan motalitas usus
Hiperpristaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus menyerap makan seingga timbul diare. Sebaliknya bila pristaltik menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan selanjutnya timbul diare pula.



Faktor penyakit / toksik ( misal toksin E. Coli )

Peningkatan peristaltik usus Peningkatan cairan intraluminar

Passase usus meningkat

Waktu henti makanan menurun frekwensi BAB meningkat
( Resiko Infeksi )
( Resiko kerusakan integritas kulit )

Penyerapan makanan, elektrolit terganggu pengeluaran cairan meningkat

Ketidak seimbangan cairan
Ketidakseimbagan nutrisi kurang
Resiko Hipo/hipertermi
Resiko Hipe/hipernatremi
Resiko Hipo/hiperkalemi
Asidosis Metabolik

F. Manifestasi Klinik
Mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair mungkin disertai ledir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu. Anus dan sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyak asam laktat yang berasal dari laktose yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare.

Gejala muntah sebelum dan sesudah diare dan dapat menyebabkan lambung juga turut meradang, atau akibat gangguan asam basa dan elektrolit. Timbul dehidrasi akibat kebanyakan kehilangan cairan dan elektrolit .Gejala dehidrasi mulai nampak yaitu berat badan menurun turgor berkurang mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Akibat dehidrasi diuresis berkurang (oliguri sampai anuri). Bila sudah asidosis metabolis pasien akan tampak pucat dengan pernapasan cepat dan dalam (kussmaul).

Asidosis metabolisme karena:
1. Kehilangan NaCO3 melalui tinja diare
2. Ketosis kelaparan
3. Produk- produk metabolik
4. Berpindahnya ion natrium dari cairan intra sel ke ekstrasel
5. Penimbunan laktat ( anoksia jaringan )

Manifestasi klinis dan dehidrasi
Isotonik (kehilangan air dan garam) Hipotonik (kehilangan garam pada kelebihan air) Hipertonik (kehilangan air pada kelebihan garam)
Warna Kulit

Suhu

Turgor

Perasaan

Membran mukosa

Air mata dan salivasi

Bola mata

Fontanel

Suhu tubuh


Nadi

Pernapasan

perilaku Abu-abu

Dingin

Buruk

Kering

Kering

Tidak ada


Cekung dan lunak

Ckung

Dibawah normal atau meningkat

Cepat

Cepat

Peka rangsang samapai letargik Abu-abu

Dingin

Sangat buruk

Basah

Aagak lembab

Tidak ada


Cekung dan lunak

Cekung

Abnormal
Sangat cepat

Cepat

Cepat

Letargik sampai koma; konvulsi Abu-abu

Dingin /panas

Sedang

Tebal, liat

Kering dan panas
Tidak ada


Cekung

Cekung

Di bawah normal atau meningkat
Cepat

Cepat

Letergi nyata dengan hiperiritabilitas yang ekstrem terhadap stimulasi

Cara Menilai Dehidrasi (Who, 1992)
Gejala dan tanda Tak dehidrasi Dehidrasi tak berat Dehidrasi berat
1. Keadaan Umum Baik Rewel, gelisah, lemah. Apatis, tidak sadar
2. Mata Tidak cekung Cekung & kering Sangat cekung,
3. Air Mata Jika menangis masih ada Jika menangis tidak ada Jika menangis tidak ada
4. Bibir Tidak kering Kering Sangat kering
5. Rasa Haus Tidak merasa haus Haus sekali, jika diberi minum rakus. Tidak bisa minum
6. Cubitan Kulit Jika dicubit cepat kembali Jika dicubit kembali lambat dicubit kembali sangat lambat.

G. Penatalaksanaan
Pencegahan penyakit diare
a. Meningkatkan pemberian ASI
b. Memperbaiki pemberian makanan pendamping ASI
c. Menggunakan air bersih yang cukup
d. Mencuci tangan dengan sabun
e. Menggunakan jamban yang benar
f. Membuang tinja bayi dan anak-anak yang tepat
g. Imunisasi campak
Prinsip Penatalaksanaan diare :
a. Mencegah terjadinya dehidrasi
b. Mengobati Dehidrasi
c. Memberi makanan
d. Mengobati masalah lain

Cara melakukan rehidrasi
Derajat
Dehidrasi Kelompok usia Jenis cairan Volume ml/kg bb Waktu
RINGAN Semua kelompok Oral 50 Tiap 4 jam
SEDANG Semua kelompok Oral 70 Tiap 4 jam
BERAT Anak Intra vena 70 Tiap 3 jam
BERAT dan SYOK Semua kelompok Intra vena 70 - 100 Tiap 4 jam

Tatalaksana penderita diare di rumah
a. Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga, seperti kuah sayur, air tajin, larutan gula garam terutama untuk penderita tanpa dehidrasi, dan bila tersedia berikan oralit
b. Meneruskan pemberian makanan yang lunak dan tidak merangsang serta makanan ekstra sesudah diare
c. Membawa panderita diare ke sarana kesehatan, bila dalam 3 hari tidak membaik atau ada salah satu tanda :
-Berak cair berkali-kali -Muntah berulang-ulang
-Rasa haus yang nyata - Makan dan minum sedikit
-Demam -Tinja berdarah

Cara pembuatan dan pemberian oralit adalah sebagai berikut :
1. Sediakan air matang 1 gelas (200 cc) dan campurkan 1 bungkus oralit untuk ukuran air 200 cc kemudian aduk sampai larut
2. Berikan sesendok teh tiap 1-2 menit untuk anak dibawah umur 2 tahun
3. Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua
4. Bila anak muntah, tunggulah 10 menit, kemudian berikan cairan lebih lama (misalnya sesendok 2-3 menit)
5. Bila diare berlanjut setelah oralit habis, berikan cairan lain seperti dijelaskan atau ke petugas kesehatan untuk mendapatkan oralit.
6. Berikan oralit setiap habis BAB dengan jumlah sbb :
Tabel : Pemberian oralit setiap BAB sesuai umur
UMUR Jumlah oralit yang diberikan tiap BAB
< 1 tahun 50-100 ml
1-4 tahun 100-200 ml
> 5 tahun 200-300 ml
Dewasa 300-400 ml

Cara pembuatan Larutan Gula Garam, sebagai pengganti oralit :
- Sediakan air matang 200 cc ( 1 gelas)
- Tambahkan gula pasir 1 sendok makan dan garam sepucuk sendok teh
- Kemudian aduk sampai larut

H. Komplikasi
Akibat diare, kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi sebagai berikut:
a. Dehidrasi ( Ringan, berat hipotenik, isotonik hipertonik)
b. Renjatan hipovolemik
c. Hipoglikemi
d. Intoleransi sekunder akibat kerusakan filimukosa usus dan defisiensi enzim laktase
e. Hipokalemia
f. Kejang terjadi akibat dehidrasi hipertonik
g. Malnutrisi energi protein

I. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Kajian riwayat penyakit
a. Kaji status dihidrasi
b. Catat keluaran fekal-jumlah, volume, karakteristik
c. Observasi dan catat adanya tanda-tanda berkaitan ternes, kram, muntah
2. Kemungkinan meamakan makanan atau air yang terkontaminasi
3. Kemungkinan infeksi ditempat lain misal : pernapasan , infeksi saluran kemih
a. Cek diagnostik
1) Tampung sperimen sesui kebutuhan
2) Feses pH, obuat Juni, frekuensi
3) HDL, ekusialit semua, kreasmi, BUM
b. Deteksi sumber infeksi
4. Pengkajian fisik rutin
5. Observasi adanya manifestasi gestro entritis akut
6. Pemeriksaan fisik
a. Pengukuran pertumbuhan
1). Tinggi badan
2). Berat badan
3). Ketebalan kulit dan lingkar lengan
b. Fisiologi
1) Suhu
2) Nadi
3) Respirasi
4) Tekanan darah
c. Penampilan umum
1) Anak lemas
2) Tampak kehausan
d. Kulit : inspeksi dan palpasi kulit, turgor berkurang, membran mukosa kering, tekstur kulit menurun. Palpasi suhu kulit meningkat.
e. Kepala dan leher : ukuran kepala, bentuk, kesimetrisan. Fontanel dan sutura cekung,
f. Mata : kelopak mata, mata cekung, konjungtiva, mata sayu.
g. Telinga: inspeksi telinga luar dan dalam, pendengaran.
h. Mulut dan kerongkongan : mukosa mulut kering, rasa haus, kerongkongan panas, lemah menelan.
i. Dada : pergerakan dada, otot bantuan pernafasan.
j. Paru : pernafasan anak cepat. Lemah, dangkal bila dehidrasi berat
k. Jantung : nadi cepat dan lemah.
l. Abdomen : turgor kulit jelek, bunyi usus peristaltik meningkat,
m. Genetalia : iritasi, kemerahan sekitarnya,
n. Anus : kemerahan, iritasi,
o. Extermity : lemah, pergerakan lemah.

Masalah Keperawatan yang sering muncul
1. Diare b/d inflamasi bakteri/malabsorbsi/proses infeksi.
2. Defisit volume cairan b/d kehilangan cairan aktif
3. Risiko kerusakan integritas kulit b/d ekskresi/BAB sering
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan intake makanan





No Diagnosa keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1.
Diare b.d inflamasi bakteri /malabsorbsi /proses infeksi.

Definisi :
BAB cair atau tidak berbentuk

Batasan Karakteristik :
- Sedikitnya BAB cair lebih dari 3 kali dalam sehari
- Suara usus hiperaktif
- Nyeri perut
- Kram
- Urgensi

Faktor yang berhubungan :
- Tingkat stres dan cemas tinggi
- Alkoholik
- Keracunan
- Penyalahgunaan laksatif
- Radiasi
- Pemberian makan melalui selang
- Efek samping obat
- Kontaminasi
- Taravelling
- Inflamasi
- Malabsorbsi
- Proses infeksi
- Iritasi
- Parasit
NOC
≈ Bowel elimination
≈ Balance cairan
≈ Status hidrasi
Kriteria Hasil :
≈ pola defekasi, lembek setiap hari atau 3 hari sekaki
≈ menunjukkan daerah rectal bebas iritasi
≈ menunjukkan frekuensi diare berkurang
≈ mampu menjelaskan penyebab diare dan tindakan yang dilakukan
≈ menunjukkan turgor kulit dan bb dbn.


NIC
Management diare
- Lakukan pemeriksaan feses kultur dan sensitivitas jika diare berlanjut
- Evaluasi efek samping pengobatan pada gastrointestinal
- Anjurkan pasien/keluarga mencatat warna, volume dan konsistensi feses
- Identifikasi faktor penyebab diare (pengobatan, bakteri atau pengaruh makanan)
- Monitor tanda dan gejala diare
- Observasi turgor kulit secara teratur
- Monitor daerah perineal dari iritasi dan ulcerasi
- Timbang BB
- Monitor peningkatan peristaltik usus
- Kelola pemberian intake nutrisi dan cairan
- Berikan medikasi sesuai program

Monitor elektrolit
- Monitor nilai elektrolit
- Monitor kehilangan cairan dan elektrolit
- Monitor manifestasi neurologi karena ketidakseimbangan elektrolit
- Monitor rasa mual, muntah dan diare
- Monitor tanda dan gejala hiponatremi, hiperkalemia
- Administrasi pemberian suplemen elektrolit

Perawatan perineal
- Lakukan hygiene perineal
- Jaga perineal tetap kering
- Bersihkan perineum secara rutin


- Mengetahui jenis bakteri penyebab dan spesifikasi pengobatan.

- Meminimalkan efek samping.

- Menghitung haluaran dan menghitung masukan yang seharusnya.
- Mengetahui pengobatan yang efektif


- Mengetahui efek lanjut secara dini.
- Mengevaluasi tingkat diare.
- Meminimalkan komplikasi dan pencegahan dini.
- Mengetahui apakah ada penurunan BB
- Mengetahui fungsi peristaltik usus.

- Menjaga keseimbangan cairan.

- Mencegah komplikasi dan menyembuhkan.

- Mengetahui nilai elektrolit.
- Mengethaui jumlah kehilangan cairan.
- Mencegah dan mengetahui sedini mungkin komplikasi diare.

- Mengetahui asupan oral.

- Mengetahui sedini ungkin komplikasi elektrolit karena diare.
- Mencegah terjadinya hipoelektrolit.



- Mencegah iritasi perineal.
- Mengurangi iritasi
- Mencegah iritasi perineum.

2
Defisit volume cairan b/d kehilangan cairan aktif

Definisi : Penurunan cairan intravaskuler, interstisial, dan/atau intrasellular. Ini mengarah ke dehidrasi, kehilangan cairan dengan pengeluaran sodium

Batasan Karakteristik :
- Kelemahan
- Haus
- Penurunan turgor kulit/lidah
- Membran mukosa/kulit kering
- Peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume/tekanan nadi
- Pengisian vena menurun
- Perubahan status mental
- Konsentrasi urine meningkat
- Temperatur tubuh meningkat
- Hematokrit meninggi
- Kehilangan berat badan seketika (kecuali pada third spacing)

Faktor-faktor yang berhubungan:
- Kehilangan volume cairan secara aktif
- Kegagalan mekanisme pengaturan

NOC:
≈ Fluid balance
≈ Hydration
≈ Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
≈ Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal
≈ Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
≈ Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
NIC :
Fluid management
• Timbang popok/pembalut jika diperlukan
• Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
• Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
• Monitor vital sign
• Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
• Kolaborasikan pemberian cairan intravena IV
• Monitor status nutrisi
• Dorong masukan oral
• Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
• Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
• Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
• Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
• Atur kemungkinan tranfusi
• Persiapan untuk tranfusi

Hypovolemia Management
• Monitor status cairan termasuk intake dan ourput cairan
• Pelihara IV line
• Monitor tingkat Hb dan hematokrit
• Monitor tanda vital
• Monitor responpasien terhadap penambahan cairan
• Monitor berat badan
• Dorong pasien untuk menambah intake oral
• Pemberian cairan Iv monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan
• Monitor adanya tanda gagal ginjal


- Mengetahui jumlah kehilangan cairan pasien.
- Mengetahui keseimbangan cairan tubuh.
- Mencegah sedini mungkin komplikasi



- Mengevaluasi keadaan umum pasien.
- Menghitung masukan oral pasien.

- Mencegah dehidrasi pasien

- Memberikan suplay cairan tubuh.
- Mengetahui secara dini gangguan elektrolit.
- Menjaga keseimbangan cairan tubuh

- Mengoptimalkan masukan oral.

- Mengurangi kejenuhan pada pasien

- Menjaga komplikasi secara dini.

- Menjaga keseimbangan cairan,
- Menjaga terjadinya anemia.


- Menghitung masukan dan haluaran.

- Menjaga infeksi nosokomial.
- Mengevaluai hemokonsentrasi darah pasien.
- Mengathui keadaan umum pasien.
- Mengevaluasi pengethuan pasien
- Mengevaluasi kenaikan berat badan
- Mensuplay masukan oral.,
- Untuk mengetahui dan menjaga over hidrasi.
- Mengethui secara dini PGK

3
Risiko kerusakan integritas kulit b/d ekskresi/BAB sering

Definisi : Semua risiko untuk kulit yang merupakan perubahan yang bersifat merugikan kulit.
Faktor resiko :
1. eksternal
 factor mekanik
 hipo/hipertermi
 imobilitas fisik
 substansi kimia
 ekskresi atau sekresi
 radiasi
 kelembaban
 pelembab
 usia yang ekstrim
2. internal
 pengobatan
 tulang yang menonjol
 kekebalan tubuh
 perubahan sensasi
 perubahanpigmentasi
 perubahan status metabolic
 perubahan sirkulasi
 perubahn turgor kulit
 perubahan status nutrisi
 psikogenik

NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
≈ Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
≈ Tidak ada luka/lesi pada kulit
≈ Perfusi jaringan baik
≈ Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
≈ Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami

NIC : Pressure Management
 Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
 Hindari kerutan padaa tempat tidur
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
 Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
 Monitor kulit akan adanya kemerahan
 Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
 Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
 Monitor status nutrisi pasien
 Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

Pencegahan Pressure Ulcer
 Kaji adanya factor risiko pada pasien
 Dokumentasikan status kulit dalam admisian tiap hari
 Hindari menggunakan pelembab pada daerah perspirasi, luka, fekal atau inkontinensia urine
 Rubah posisi setiap 2 jam
 Inspeksi bony prominence

 Jaga kebersihan linen
 Berikan pelembab pada kulit yang kering

Skin Surveillance
 Inspeksi kondisi kulit yang mengalami pembedahan
 Observasi warna, kelembaban, teksture, ulcerasi kulit
 Monitor kulit yang kemerahan
 Monitor adanya infeksi
 Monitor warna dan suhu kulit
 Catat perubahan kulit dan membran mukosa

- Mengurangi evaporasi

- Mencegah iritasi daerah lipatan.
- Mencegah iritasi kulit.

- Mencegah dekubitus.

- Mencegah komplikasi secara dini.

- Mengetahui adanya iritasi kulit.

- Mencegah kontraktur

- Mengetahui keadaan nutrisi pasien
- Mencegah iritasi kulit.




- Mengetahui faktor risiko.

- Mengetahui kerusakan pada kulit.




- Mencegah dekubitus.
- Mengevaluasi keadaan body prominence
- Mencegah iritasi alat linen.
- Mencegah iritasi kulit.



- Mencegah komplikasi

- Mengetahui efek legalisir.

- Menjaga kesempurnaan Djarum 76.

- Mengetahui perubahan kulit.

4
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan intake makanan

Definisi : Intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh.

Batasan karakteristik :
- Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal
- Dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance)
- Membran mukosa dan konjungtiva pucat
- Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah
- Luka, inflamasi pada rongga mulut
- Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan
- Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan
- Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa
- Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan
- Miskonsepsi
- Kehilangan BB dengan makanan cukup
- Keengganan untuk makan
- Kram pada abdomen
- Tonus otot jelek
- Nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi
- Kurang berminat terhadap makanan
- Pembuluh darah kapiler mulai rapuh
- Diare dan atau steatorrhea
- Kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok)
- Suara usus hiperaktif
- Kurangnya informasi, misinformasi



Faktor-faktor yang berhubungan :
Ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis, psikologis atau ekonomi.

NOC :
≈ Nutritional Status :
≈ Nutritional Status : food and Fluid Intake
≈ Nutritional Status : nutrient Intake
≈ Weight control
Kriteria Hasil :
≈ Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
≈ Beratbadan ideal sesuai dengan tinggi badan
≈ Mampumengidentifikasi kebutuhan nutrisi
≈ Tidk ada tanda tanda malnutrisi
≈ Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
≈ Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Nutrition Management
 Kaji adanya alergi makanan

 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

Nutrition Monitoring
 Monitor adanya penurunan berat badan
 Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
 Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
 Monitor lingkungan selama makan
 Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
 Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
 Monitor turgor kulit
 Monitor makanan kesukaan
 Monitor kalori dan intake nuntrisi
 Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.


- Menghindari terjadinya alergi, kembali.
- Mencegah dehidrasi.


- Mencegah suplai vit. Fe.

- Mencegah malnutrisi.

- Mencegah optimalisasi
- Mencegah konstipasi.


- Memudahkan oral.


- Memandirikan pasien.

- Mengetahui intake masukan.

- Mengetahui kebutuhan nutrisinya.






- Mengetahui keseimbangan cairan.

- Mengetahui pengeluaran kaliori

- Mengetahui trauma anak terhadap RS.

- Mencegah penularan penyakit.
- Mengurangi gangguan makan.

- Mengetahui tanda komplikasi secara dini.
- Mengetahui kekenyalan kulit.
- Menambah porsi makan.
- Mengetahui kerusakan sistemik.
- Mengetahui kerusakan lain.




Discharge Planning
1. Ajarkan pada orang tua mengenai perawatan anak, pemberian makanan dan minuman (missal oralit).
2. Ajarkan mengenai tanda tanda dehidrasi, ubun ubundan mata cekung, turgor kulit tidak elastis, membran mukosa kering
3. Jelaskan obat obatan yang diberikan, efek samping dan kegunaannya.




DAFTAR PUSTAKA



Engel, J. 1998, Pengkajian pediatrik, Jakarta, EGC.

Johnson., M. 1997, Nursing outcomes classification, Retrieved May 2004, from http://www.Minurse.com.

McCloskey, J. C., & Bulecheck, G. M., 1996, Nursing intervention classsification (NIC). Mosby, St. Louise.

Noer, S. 1996, Buku ajar: Ilmu penyakit dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

NANDA, 2002. Nursing diagnosis : Definition and classification (2001-2002), Philadelphia.

Potter, P. A., & Perry, A. G. 2005, Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep, proses dan praktik, Edisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
ANAK DENGAN
DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)


A. Pengertian
 DHF adalah penyakit demam yang disebabkan oleh virus dan disertai demam akut, perdarahan, tendensi syok (Dra. Suryanah, 1996).
 DHF adalah penyakit yang disebabkan virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (betina). (Perawatan Pasien DHF, 1995).
 DHF adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Mansjoer Arif dkk, 2000).
 DHF adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan sumsum (http://www.medicastore.com).
 DHF adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan (http://www.medicastore.com).
Klasifikasi DHF (menurut derajat beratnya penyakit; WHO, 1986):
a) Derajat I
Demam disertai dengan gejala klinis tanpa perdarahan sentral uji torniquet (+), trombositopenia dan homokonsentrasi.
b) Derajat II
Derajat I disertai pendarahan spontan pada kulit.
c) Derajat III
Nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung, ujung jari (tanda dari renjatan).
d) Derajat IV
Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan koleh virus dengue, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Virus ini menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dam sistem pembekuan darah sehingga mengakibatkan perdarahan, dapat menimbulkan kematian. Penyebab penyakit adalah virus yang mengganggu pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
DHF juga disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus yang berbeda antigen. Virus ini adalah kelompok flavirus dan serotipenya adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup, tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.

C. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit BDB adalah:
a) Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah, lesu, suhu badan 38-40 º C atau lebih.
b) Tampak bintik-bintik merah pada kulit dan jika kulit diregangkan bintik merah itu tidak hilang.
c) Kadang-kadang peradarahan di hidung (mimisen).
d) Mungkin terjadi muntah darah atau berak darah.
e) Tes turniquet positif.
f) Adanya perdarahan yang petekia, akimosis atau purpura.
g) Kadang-kadang nyeri ulu hati, karena terjadi perdarahan di lambung.
h) Bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin, berkeringat, perdarahan selaput lendir mukosa, alat cerna gastrointestinal, tempat suntikan atau di tempat lainnya.
i) Hematomesis atau melena.
j) Trombositopenia (100.000 per mm3).
k) Pembesaran plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dingin pembuluh darah, yang ditandai dengan munculnya satu atau lebih dari:
 Kenaikan nilai 20 % hematokrit atau lebih tergantung umur dan jenis kelamin.
 Menurunnya nilai hematokrit dari nilai dasar 20 % atau lebih sesudah pengobatan.
 Tanda-tanda perbesaran plasma yaitu efusi pleura, asites, hipo-proteinemia.
l) Keluhan pada saluran pernapasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
m) Keluhan pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, anoreksia, diare dan konstipasi.
n) Keluhan sistem tubuh yang lain seperti nyeri kepala, nyeri otot, tulang dan sendi serta pegal di seluruh tubuh.

D. Patofisiologi
Fenomena patofisiologi yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemia tenggorokan dan hal lain yan mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati l(hepatomegali) dan pembesaran limpa (spenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi rejatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma(plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk petokan pemberian cairan intra vena. Oleh karena itu, pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau hematokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi yang terjadi. Rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:
A = Ht tertinggi selama dirawat
B = Ht saat pulang
C = Prosentase hematokrit

Setelah pemberian cairan intra vena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi sehingga pemberian cairan intra vena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung. Sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama, akan timbul anoreksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.
Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh alat tubuh, seperti di kulit, paru-paru, saluran cerna dan jaringan adrenal. Hati umumnya membesar dengan perlemakan dan koagulasi nekrosis pada daerah sentral atau parasentral.

E. KOMPLIKASI
Komplikasi dari DHF diantaranya:
a. Syock atau renjatan
b. Efusi pleura
c. Penurunan kesadaran
F. Pathway






















G. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
1) Pemeriksaan Laboratosium
 IgE dengue (+)
 Trombositopenia
 Hemoglobin meningkat > 20 %
 Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat)
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipoktoremia pada hari kedua dan ketiga terjadi leukopenia, nekropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit dan basofil.
 SGOT/SGPT mungkin meningkat
 Waktu perdarahan memanjang
 Pada pemeriksaan analisa gas darah arteri menunjukkan asidosis metabolik: PCO2 < 35-40 mmHg: HCO3 rendah Base excess (-)
 Pada pemeriksaan urin dijumpai albuminuria ringan
Pemeriksaan laboratorium sederhana sebagai penunjang diagnosis dini DHF:
a) Nilai limfosit plasma biru pada sediaan hapus darah tepi (Guffy Coat)
Penemuan LPB dalam prosentase tinggi (20-50 %) pada sediaan Guffy Coat penderita DHF yang khas karena sangat berbeda dengan prosentase LPB 0-10 % yang ditemukan pada infeksi virus lain. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam membuat diagnosis banding DHF dengan penyakit virus lain pada masa dini. Selain itu. Pemeriksaannya sangat sederhana, murah, dapat dipercaya dan dapat dilakukan di sebagian besar Rumah Sakit Tipe C.
b) Pemeriksaan hemoglobin metode hematin asam dengan hemometer sahli
Suatu penelitian untuk membuktikan bahwa pemeriksaan Hb sahli yang tersedia di Puskesmas dapat dipergunakan untuk memperkirakan nilai Hematokrit (Ht) telah dilakukan terhadap 200 orang penderita DHF. Pemeriksaan kadar Hb sahli telah dikelola dengan pemeriksaan secara elektronik. Pengujian kemaknaan membuktikan bahwa statistis:
 Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar Hb yang diperiksa secara elektronik dan sahli.
 Terdapat korelasi yang kuat antara pemeriksaan Hb sahli dan nilai Ht. Pemeriksaan Hb sahli dapat dipakai sebagai parameter derajat kebocoran plasma dalam mengelola penderita DHF. Kenaikan/penurunan Hb sahli mencerminkan kenaikan/penurunan nilai Ht dalam perjalanan penyakit.
2) Pemeriksaan Serologi
Melakukan pengukuran titer antibodi pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test (HI Test) atau dengan uji pengikatan komplemen (Complement Fixation Test/CFT). Pada pemeriksaan ini dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan yaitu pada masa akut atau demam dan pada masa penyembuhan (1-4 minggu setelah awal gejala penyakit). Untuk pemeriksaan serologi ini diambil darah vena 2-5 ml.
3) Pemeriksaan Diagnosis yang Menunjang
Antara lain foto torax yang mungkin dijumpai adanya pleural efusion pada pemeriksaan USG hepatomegali dan splenomegali.

H. Penatalaksanaan Medis
1) Tirah baring/istirahat baring.
2) Diet makan lunak.
3) Minum banyak (2-2,5 liter/24 jam) dapat berupa susu, teh manis, sirup.
4) Pemberian cairan intra vena (RL, NaCl).
5) Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tekanan darah, respirasi). Jika kondisi memburuk, observasi ketat tiap jam.
6) Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap hari.
7) Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asitamenofen, eukinin atau dipiron (kolaborasi dengan dokter) juga pemberian kompres dingin.
8) Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9) Pemberian antibiotika bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder (kolaborasi dengan dokter).
10) Monitor tanda-tanda dini rejatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11) Pemberian O2 pada pasien yang mengalami rejatan.
12) Antibiotika diberikan atas indikasi misalnya komplikasi infeksi bakterial.
13) Eksponder plasma/dextan (pada kasus rejatan hebat).
I. Pengobatan
1) Untuk mengatasi demam sebaiknya diberikan parasetamol. Salisilat tidak digunakan karena akan memicu perdarahan asidosis.
2) Parasetamol diberikan selama demam masih mencapai 39 ºC, paling banyak 6 dosis dalam 24 jam.
3) Kadang-kadang diperlukan obat penenang pada anak-anak yang sangat gelisah. Kegelisahan ini dapat terjadi karena dehidrasi atau gangguan fungsi hati.
4) Haus dan dehidrasi merupakan akibat dari demam tinggi, tidak adanya nafsu makan dan muntah.
5) Untuk mengganti cairan yang hilang, harus diberikan cairan yang cukup melalui mulut atau intra vena. Cairan yang diminum sebaiknya mengandung elektrolit seperti oralit. Cairan yang lain yang bisa juga diberikan adalah jus buah-buahan.
















ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DHF

Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang paling penting dilakukan oleh perawat, baik pada saat penderita pertama kali masuk Rumah Sakit (untuk mengetahui riwayat penyakit dan perjalanan penyakit yang dialami pasien) maupun selama penderita dalam masa perawatan (untuk mengetahui perkembangan pasien dan kebutuhannya serta mengidentifikasi masalah yang dihadapinya).
Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian:
 Wawancara
 Pemeriksaan fisik
 Observasi atau pengamatan
 Catatan atau status pasien
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
Dengan data yang ada, perawat dapat menentukan aktivitas keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan atau masalah yang dialami pasien.
Data yang dikumpulkan dapat dibagi menjadi 2 yaitu data dasar dan data khusus (Carpenito, 1983):
1) Data dasar
Adalah data mengenai:
 Persepsi klien tantang kesehatan; upaya yang biasa dilakukan untuk mempertahankan hidup sehat; alasan pasien masuk rumah sakit (keluhan utama) yang dialami pasien; faktor pencetus dan lamanya keluhan; timbulnya keluhan (mendadak atau bertahap); upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan.
 Pola nutrisi: frekuensi; jenis; pantangan; nafsu makan.
 Pola eliminasi: BAB dan BAK.
 Pola aktifitas dan latihan.
 Pola tidur dan istirahat.
 Pola pikir: persepsi; persepsi diri; mekanisme koping; sistem nilai-kepercayaan.
 Pengkajian fisik yang meliputi: keadaan umum pasien; sakit (ringan; sedang; berat).
 Kesadaran: komposmentis; apatis; somnolen; soporus; koma; refleks; sensibilitas; nilai Glasgow Coma Scale (GCS).
 Tanda-tanda vital: suhu; tekanan darah; nadi; pernapasan.
 Kelenjar kulit, kelenjar limfe, muka, kepala, mata, telinga, hidung, mulut dan leher; rektum; alat kelamin; anggota gerak.
 Sirkulasi: finger print; turgor; hidrasi.
 Keadaan dada:
 Paru-paru: inspeksi; palpasi; perkusi; auskultasi.
 Jantung: inspeksi; palpasi; perkusi; auskultasi.
 Abdomen: inspeksi; palpasi; perkusi; auskultasi.
Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan harus melihat kondisi pasien terutama saat palpasi atau perkusi.
2) Data khusus
Adalah data yang diambil berdasarkan kondisi pasien pada saat sekarang.
Di samping data tersebut di atas, dalam memberikan asuhan keperawatan seorang perawat juga membutuhkan data yang lebih spesifik mengenai penyakit pasien yang berupa data subjektif, data objektif, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan diagnostik lainnya yang menunjang.
Data subjektif adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan yang dinyatakan oleh pasien. Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan adalah:
 Lemah
 Panas atau demam
 Sakit kepala
 Anoreksia (tidak nafsu makan); mual; haus; sakit saat menelan
 Nyeri ulu hati
 Nyeri pada saat otot dan sendi
 Pegal-pegal pada seluruh tubuh
 Konstipasi (sembelit)

Data objektif adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan atas kondisi pasien. Data objektif paling sering dijumpai pada penderita DHF antara lain:
 Suhu tubuh tinggi; menggigil; wajah tampak kemerahan (flushing)
 Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
 Tampak bintik merah pada kulit (petekie); uji turniket (+); epistaksis (perdarahan hidung); ekimosis; hematoma; hematemesis; melena
 Hiperemia pada tenggorokan
 Nyeri tekan pada epigastrik
 Pada palpasi teraba adanya perbesaran hati dan limpa
 Pada rejatan (derajat IV): nadi cepat dan lemah; hipotensi; ekstremitas dingin; gelisah; sianosis perifer; nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium. Untuk menegakkan diagnosa DHF, perlu dilakukan berbagai pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah dan urine serta pemeriksaan serologi. Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai:
 Ig G Dengue positif
 Trombositopenia
 Hemoglobin meningkat > 20 %
 Hemokonsentrasi (hemotokrit meningkat)
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan: hipoproteinemia; hiponatremia; hipokloremia
Pada hari kedua dan ketiga terjadi leukopenia; netropenia; aneosinofilia; peningkatan limfosit; monosit dan basofil.
 SGOT/SGPT mungkin meningkat
 Ureum dan pH darah mungkin meningkat
 Waktu perdarahan memanjang
 Pada pemeriksaan analisa gas darah arteri menunjukkan asidosis metabolik: pCO2 < 35-40 mmHg; HCO3 rendah; Base Excess (-)
 Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan
Pemeriksaan serologi. Melakukan pengukuran titer antibodi pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test (HI Test) atau dengan uji pengikatan komplemen (Complement Fixation Test/CFT). Pada pemeriksaan serologi dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan yaitu pada masa akut atau demam dan pada masa penyembuhan (1-4 minggu setelah awal gejala penyakit). Untuk pemeriksaan serologi diambil darah vena 2-5 ml.
Pemeriksaan diagnosis penunjang antara lain foto torak mungkin dijumpai pleural efusion, pada pemeriksaan USG hepatomegali dan splenomegali.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
3. Resiko gangguan nutrisi kurang berhubungan dengan nafsu makan yang menurun.

C. PERENCANAAN
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Kriteria : TTV khususnya suhu dalam batas normal ( 365 – 375 )
Membran mukosa basah.
Rencana Intervensi ;
1. Observasi TTV setiap 1 jam
Rasional : Menentukan intervensi lanjutan bila terjadi perubahan
2. Berikan kompres air biasa / kran
Rasional : Kompres akan memberikan pengeluaran panas secara induksi.
3. Anjurkan klien untuk banyak minum 1500 – 2000 ml
Rasional : Mengganti cairan tubuh yang keluar karena panas dan memacu pengeluaran urine guna pembuangan panas lewt urine.
4. Anjurkan untuk memakai pakaian yang tipis dan menyengat keringat.
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan memperbesar penguapan panas
5. Observasi intake dan out put
Rasional : Deteksi terjadinya kekurangan volume cairan tubuh.
6. Kolaborasi untuk pemberian antipiretik
Rasional : Antipireik berguna bagi penurunan panas.

2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria : TD 100/70 mmHg, N: 80-120x/mnt
Pulsasi kuat, akral hangat
Rencana Intervensi ;
1. Observasi Vital sign setiap jam atau lebih.
Rasional : Mengetahui kondisi dan mengidentifikasi fluktuasi cairan intra vaskuler.
2. Observasi capillary refill
Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer.
3. Observasi intake dan output, catat jumlah, warna / konsentrasi urine.
Rasional : Penurunan haluaran urine / urine yang pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi.
4. Anjurkan anak untuk banyak minum 1500-2000 mL
Rasional : Untuk pemenuhan kebutuhan ciran tubuh
5. Kolaborasi pemberian cairan intra vena atau plasma atau darah.
Rasional : Meningkatkan jumlah cairan tubuh untuk mencegah terjadinya hipovolemik syok.


3. Resiko gangguan nutrisi kurang berhubungan dengan nafsu makan yang menurun.
Tujuan : Nutrisi terpenuhi
Kriteria : Nafsu makan meningkat
Porsi makan dihabiskan
Rencana Intervensi :
1. Kaji keluhan mual, muntah atau penurunan nafsu makan
Rasional : Menentukan intervensi selanjutnya.
2. Berikan makanan yang mudah ditelan mudah cerna
Rasional : Mengurangi kelelahan klien dan mencegah perdarahan gastrointestinal.
3. Berikan makanan porsi kecil tapi sering.
Rasional : Menghindari mual dan muntah
4. Hindari makanan yang merangsang : pedas, asam.
Rasional : Mencegah terjadinya distensi pada lambung yang dapat menstimulasi muntah.
5. Beri makanan kesukaan klien
Rasional : Memungkinkan pemasukan yang lebih banyak
6. Kolaborasi pemberian cairan parenteral
Rasional : Nutrisi parenteral sangat diperlukan jika intake peroral sangat kurang.













DAFTAR PUSTAKA

Nurohman, Inung. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak M dengan DM DHF di Ruang Aster RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Efendy, Christante. 1995. Perawatan Pasien DHF. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jil 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
http://www.mediacastore.com/med/detail_pyk:php?iddkl=47&idktg=20&uid=20051207130847202.149.87.250
http://www.dinkes_dki.go.id/penyakit.html#demamberdarah.

LAPORAN PENDAHULUAN
ANAK DENGAN
DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)


A. Pengertian
 DHF adalah penyakit demam yang disebabkan oleh virus dan disertai demam akut, perdarahan, tendensi syok (Dra. Suryanah, 1996).
 DHF adalah penyakit yang disebabkan virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypti (betina). (Perawatan Pasien DHF, 1995).
 DHF adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Mansjoer Arif dkk, 2000).
 DHF adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan sumsum (http://www.medicastore.com).
 DHF adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan (http://www.medicastore.com).
Klasifikasi DHF (menurut derajat beratnya penyakit; WHO, 1986):
a) Derajat I
Demam disertai dengan gejala klinis tanpa perdarahan sentral uji torniquet (+), trombositopenia dan homokonsentrasi.
b) Derajat II
Derajat I disertai pendarahan spontan pada kulit.
c) Derajat III
Nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung, ujung jari (tanda dari renjatan).
d) Derajat IV
Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan koleh virus dengue, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Virus ini menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dam sistem pembekuan darah sehingga mengakibatkan perdarahan, dapat menimbulkan kematian. Penyebab penyakit adalah virus yang mengganggu pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
DHF juga disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus yang berbeda antigen. Virus ini adalah kelompok flavirus dan serotipenya adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup, tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.

C. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit BDB adalah:
a) Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah, lesu, suhu badan 38-40 º C atau lebih.
b) Tampak bintik-bintik merah pada kulit dan jika kulit diregangkan bintik merah itu tidak hilang.
c) Kadang-kadang peradarahan di hidung (mimisen).
d) Mungkin terjadi muntah darah atau berak darah.
e) Tes turniquet positif.
f) Adanya perdarahan yang petekia, akimosis atau purpura.
g) Kadang-kadang nyeri ulu hati, karena terjadi perdarahan di lambung.
h) Bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin, berkeringat, perdarahan selaput lendir mukosa, alat cerna gastrointestinal, tempat suntikan atau di tempat lainnya.
i) Hematomesis atau melena.
j) Trombositopenia (100.000 per mm3).
k) Pembesaran plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dingin pembuluh darah, yang ditandai dengan munculnya satu atau lebih dari:
 Kenaikan nilai 20 % hematokrit atau lebih tergantung umur dan jenis kelamin.
 Menurunnya nilai hematokrit dari nilai dasar 20 % atau lebih sesudah pengobatan.
 Tanda-tanda perbesaran plasma yaitu efusi pleura, asites, hipo-proteinemia.
l) Keluhan pada saluran pernapasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
m) Keluhan pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, anoreksia, diare dan konstipasi.
n) Keluhan sistem tubuh yang lain seperti nyeri kepala, nyeri otot, tulang dan sendi serta pegal di seluruh tubuh.

D. Patofisiologi
Fenomena patofisiologi yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemia tenggorokan dan hal lain yan mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati l(hepatomegali) dan pembesaran limpa (spenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi rejatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma(plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk petokan pemberian cairan intra vena. Oleh karena itu, pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau hematokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi yang terjadi. Rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:
A = Ht tertinggi selama dirawat
B = Ht saat pulang
C = Prosentase hematokrit

Setelah pemberian cairan intra vena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi sehingga pemberian cairan intra vena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung. Sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama, akan timbul anoreksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.
Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh alat tubuh, seperti di kulit, paru-paru, saluran cerna dan jaringan adrenal. Hati umumnya membesar dengan perlemakan dan koagulasi nekrosis pada daerah sentral atau parasentral.

E. KOMPLIKASI
Komplikasi dari DHF diantaranya:
a. Syock atau renjatan
b. Efusi pleura
c. Penurunan kesadaran
F. Pathway






















G. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
1) Pemeriksaan Laboratosium
 IgE dengue (+)
 Trombositopenia
 Hemoglobin meningkat > 20 %
 Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat)
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipoktoremia pada hari kedua dan ketiga terjadi leukopenia, nekropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit dan basofil.
 SGOT/SGPT mungkin meningkat
 Waktu perdarahan memanjang
 Pada pemeriksaan analisa gas darah arteri menunjukkan asidosis metabolik: PCO2 < 35-40 mmHg: HCO3 rendah Base excess (-)
 Pada pemeriksaan urin dijumpai albuminuria ringan
Pemeriksaan laboratorium sederhana sebagai penunjang diagnosis dini DHF:
a) Nilai limfosit plasma biru pada sediaan hapus darah tepi (Guffy Coat)
Penemuan LPB dalam prosentase tinggi (20-50 %) pada sediaan Guffy Coat penderita DHF yang khas karena sangat berbeda dengan prosentase LPB 0-10 % yang ditemukan pada infeksi virus lain. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam membuat diagnosis banding DHF dengan penyakit virus lain pada masa dini. Selain itu. Pemeriksaannya sangat sederhana, murah, dapat dipercaya dan dapat dilakukan di sebagian besar Rumah Sakit Tipe C.
b) Pemeriksaan hemoglobin metode hematin asam dengan hemometer sahli
Suatu penelitian untuk membuktikan bahwa pemeriksaan Hb sahli yang tersedia di Puskesmas dapat dipergunakan untuk memperkirakan nilai Hematokrit (Ht) telah dilakukan terhadap 200 orang penderita DHF. Pemeriksaan kadar Hb sahli telah dikelola dengan pemeriksaan secara elektronik. Pengujian kemaknaan membuktikan bahwa statistis:
 Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar Hb yang diperiksa secara elektronik dan sahli.
 Terdapat korelasi yang kuat antara pemeriksaan Hb sahli dan nilai Ht. Pemeriksaan Hb sahli dapat dipakai sebagai parameter derajat kebocoran plasma dalam mengelola penderita DHF. Kenaikan/penurunan Hb sahli mencerminkan kenaikan/penurunan nilai Ht dalam perjalanan penyakit.
2) Pemeriksaan Serologi
Melakukan pengukuran titer antibodi pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test (HI Test) atau dengan uji pengikatan komplemen (Complement Fixation Test/CFT). Pada pemeriksaan ini dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan yaitu pada masa akut atau demam dan pada masa penyembuhan (1-4 minggu setelah awal gejala penyakit). Untuk pemeriksaan serologi ini diambil darah vena 2-5 ml.
3) Pemeriksaan Diagnosis yang Menunjang
Antara lain foto torax yang mungkin dijumpai adanya pleural efusion pada pemeriksaan USG hepatomegali dan splenomegali.

H. Penatalaksanaan Medis
1) Tirah baring/istirahat baring.
2) Diet makan lunak.
3) Minum banyak (2-2,5 liter/24 jam) dapat berupa susu, teh manis, sirup.
4) Pemberian cairan intra vena (RL, NaCl).
5) Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tekanan darah, respirasi). Jika kondisi memburuk, observasi ketat tiap jam.
6) Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap hari.
7) Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asitamenofen, eukinin atau dipiron (kolaborasi dengan dokter) juga pemberian kompres dingin.
8) Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9) Pemberian antibiotika bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder (kolaborasi dengan dokter).
10) Monitor tanda-tanda dini rejatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11) Pemberian O2 pada pasien yang mengalami rejatan.
12) Antibiotika diberikan atas indikasi misalnya komplikasi infeksi bakterial.
13) Eksponder plasma/dextan (pada kasus rejatan hebat).
I. Pengobatan
1) Untuk mengatasi demam sebaiknya diberikan parasetamol. Salisilat tidak digunakan karena akan memicu perdarahan asidosis.
2) Parasetamol diberikan selama demam masih mencapai 39 ºC, paling banyak 6 dosis dalam 24 jam.
3) Kadang-kadang diperlukan obat penenang pada anak-anak yang sangat gelisah. Kegelisahan ini dapat terjadi karena dehidrasi atau gangguan fungsi hati.
4) Haus dan dehidrasi merupakan akibat dari demam tinggi, tidak adanya nafsu makan dan muntah.
5) Untuk mengganti cairan yang hilang, harus diberikan cairan yang cukup melalui mulut atau intra vena. Cairan yang diminum sebaiknya mengandung elektrolit seperti oralit. Cairan yang lain yang bisa juga diberikan adalah jus buah-buahan.
















ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DHF

Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang paling penting dilakukan oleh perawat, baik pada saat penderita pertama kali masuk Rumah Sakit (untuk mengetahui riwayat penyakit dan perjalanan penyakit yang dialami pasien) maupun selama penderita dalam masa perawatan (untuk mengetahui perkembangan pasien dan kebutuhannya serta mengidentifikasi masalah yang dihadapinya).
Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian:
 Wawancara
 Pemeriksaan fisik
 Observasi atau pengamatan
 Catatan atau status pasien
 Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
Dengan data yang ada, perawat dapat menentukan aktivitas keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan atau masalah yang dialami pasien.
Data yang dikumpulkan dapat dibagi menjadi 2 yaitu data dasar dan data khusus (Carpenito, 1983):
1) Data dasar
Adalah data mengenai:
 Persepsi klien tantang kesehatan; upaya yang biasa dilakukan untuk mempertahankan hidup sehat; alasan pasien masuk rumah sakit (keluhan utama) yang dialami pasien; faktor pencetus dan lamanya keluhan; timbulnya keluhan (mendadak atau bertahap); upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan.
 Pola nutrisi: frekuensi; jenis; pantangan; nafsu makan.
 Pola eliminasi: BAB dan BAK.
 Pola aktifitas dan latihan.
 Pola tidur dan istirahat.
 Pola pikir: persepsi; persepsi diri; mekanisme koping; sistem nilai-kepercayaan.
 Pengkajian fisik yang meliputi: keadaan umum pasien; sakit (ringan; sedang; berat).
 Kesadaran: komposmentis; apatis; somnolen; soporus; koma; refleks; sensibilitas; nilai Glasgow Coma Scale (GCS).
 Tanda-tanda vital: suhu; tekanan darah; nadi; pernapasan.
 Kelenjar kulit, kelenjar limfe, muka, kepala, mata, telinga, hidung, mulut dan leher; rektum; alat kelamin; anggota gerak.
 Sirkulasi: finger print; turgor; hidrasi.
 Keadaan dada:
 Paru-paru: inspeksi; palpasi; perkusi; auskultasi.
 Jantung: inspeksi; palpasi; perkusi; auskultasi.
 Abdomen: inspeksi; palpasi; perkusi; auskultasi.
Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan harus melihat kondisi pasien terutama saat palpasi atau perkusi.
2) Data khusus
Adalah data yang diambil berdasarkan kondisi pasien pada saat sekarang.
Di samping data tersebut di atas, dalam memberikan asuhan keperawatan seorang perawat juga membutuhkan data yang lebih spesifik mengenai penyakit pasien yang berupa data subjektif, data objektif, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan diagnostik lainnya yang menunjang.
Data subjektif adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan yang dinyatakan oleh pasien. Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan adalah:
 Lemah
 Panas atau demam
 Sakit kepala
 Anoreksia (tidak nafsu makan); mual; haus; sakit saat menelan
 Nyeri ulu hati
 Nyeri pada saat otot dan sendi
 Pegal-pegal pada seluruh tubuh
 Konstipasi (sembelit)

Data objektif adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan atas kondisi pasien. Data objektif paling sering dijumpai pada penderita DHF antara lain:
 Suhu tubuh tinggi; menggigil; wajah tampak kemerahan (flushing)
 Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
 Tampak bintik merah pada kulit (petekie); uji turniket (+); epistaksis (perdarahan hidung); ekimosis; hematoma; hematemesis; melena
 Hiperemia pada tenggorokan
 Nyeri tekan pada epigastrik
 Pada palpasi teraba adanya perbesaran hati dan limpa
 Pada rejatan (derajat IV): nadi cepat dan lemah; hipotensi; ekstremitas dingin; gelisah; sianosis perifer; nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium. Untuk menegakkan diagnosa DHF, perlu dilakukan berbagai pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah dan urine serta pemeriksaan serologi. Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai:
 Ig G Dengue positif
 Trombositopenia
 Hemoglobin meningkat > 20 %
 Hemokonsentrasi (hemotokrit meningkat)
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan: hipoproteinemia; hiponatremia; hipokloremia
Pada hari kedua dan ketiga terjadi leukopenia; netropenia; aneosinofilia; peningkatan limfosit; monosit dan basofil.
 SGOT/SGPT mungkin meningkat
 Ureum dan pH darah mungkin meningkat
 Waktu perdarahan memanjang
 Pada pemeriksaan analisa gas darah arteri menunjukkan asidosis metabolik: pCO2 < 35-40 mmHg; HCO3 rendah; Base Excess (-)
 Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan
Pemeriksaan serologi. Melakukan pengukuran titer antibodi pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test (HI Test) atau dengan uji pengikatan komplemen (Complement Fixation Test/CFT). Pada pemeriksaan serologi dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan yaitu pada masa akut atau demam dan pada masa penyembuhan (1-4 minggu setelah awal gejala penyakit). Untuk pemeriksaan serologi diambil darah vena 2-5 ml.
Pemeriksaan diagnosis penunjang antara lain foto torak mungkin dijumpai pleural efusion, pada pemeriksaan USG hepatomegali dan splenomegali.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
3. Resiko gangguan nutrisi kurang berhubungan dengan nafsu makan yang menurun.

C. PERENCANAAN
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Kriteria : TTV khususnya suhu dalam batas normal ( 365 – 375 )
Membran mukosa basah.
Rencana Intervensi ;
1. Observasi TTV setiap 1 jam
Rasional : Menentukan intervensi lanjutan bila terjadi perubahan
2. Berikan kompres air biasa / kran
Rasional : Kompres akan memberikan pengeluaran panas secara induksi.
3. Anjurkan klien untuk banyak minum 1500 – 2000 ml
Rasional : Mengganti cairan tubuh yang keluar karena panas dan memacu pengeluaran urine guna pembuangan panas lewt urine.
4. Anjurkan untuk memakai pakaian yang tipis dan menyengat keringat.
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan memperbesar penguapan panas
5. Observasi intake dan out put
Rasional : Deteksi terjadinya kekurangan volume cairan tubuh.
6. Kolaborasi untuk pemberian antipiretik
Rasional : Antipireik berguna bagi penurunan panas.

2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria : TD 100/70 mmHg, N: 80-120x/mnt
Pulsasi kuat, akral hangat
Rencana Intervensi ;
1. Observasi Vital sign setiap jam atau lebih.
Rasional : Mengetahui kondisi dan mengidentifikasi fluktuasi cairan intra vaskuler.
2. Observasi capillary refill
Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer.
3. Observasi intake dan output, catat jumlah, warna / konsentrasi urine.
Rasional : Penurunan haluaran urine / urine yang pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi.
4. Anjurkan anak untuk banyak minum 1500-2000 mL
Rasional : Untuk pemenuhan kebutuhan ciran tubuh
5. Kolaborasi pemberian cairan intra vena atau plasma atau darah.
Rasional : Meningkatkan jumlah cairan tubuh untuk mencegah terjadinya hipovolemik syok.


3. Resiko gangguan nutrisi kurang berhubungan dengan nafsu makan yang menurun.
Tujuan : Nutrisi terpenuhi
Kriteria : Nafsu makan meningkat
Porsi makan dihabiskan
Rencana Intervensi :
1. Kaji keluhan mual, muntah atau penurunan nafsu makan
Rasional : Menentukan intervensi selanjutnya.
2. Berikan makanan yang mudah ditelan mudah cerna
Rasional : Mengurangi kelelahan klien dan mencegah perdarahan gastrointestinal.
3. Berikan makanan porsi kecil tapi sering.
Rasional : Menghindari mual dan muntah
4. Hindari makanan yang merangsang : pedas, asam.
Rasional : Mencegah terjadinya distensi pada lambung yang dapat menstimulasi muntah.
5. Beri makanan kesukaan klien
Rasional : Memungkinkan pemasukan yang lebih banyak
6. Kolaborasi pemberian cairan parenteral
Rasional : Nutrisi parenteral sangat diperlukan jika intake peroral sangat kurang.













DAFTAR PUSTAKA

Nurohman, Inung. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak M dengan DM DHF di Ruang Aster RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Efendy, Christante. 1995. Perawatan Pasien DHF. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jil 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
http://www.mediacastore.com/med/detail_pyk:php?iddkl=47&idktg=20&uid=20051207130847202.149.87.250
http://www.dinkes_dki.go.id/penyakit.html#demamberdarah.
LAPORAN PENDAHULUAN
BAYI
DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM










I. Definisi
Asfiksia neonatorum berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan O2 dan mungkin meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (PaCO2 meningkat) dan asidosis.
Asfiksia Neonatorum dapat dibagi dalam:
a. "Vigorous baby'' skor apgar 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerkikan istimewa.
b. "Mild-moderate asphyxia" (asfiksia sedang) skor apgar 4-6 pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari lOOx/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refick iritabilitas tidak ada.
c. Asfiksia berat: skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan' frekuensi jantung kurang dari l00x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.
Asfiksia berat dengan henti jantung yaitu keadaan:
1. Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelu lahir lengkap.
2. Bunyi jantung bayi menghilang post partum.
II. Etiologi
Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan perlukaran gas atau pengangkutang O2 dari ibu kejanin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sehagian besar asfiksia bayi baru lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
Pengolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari:
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering ditemukan pada :
1. Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat.
2. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
3. Hipertensi pada penyakit Hipertensi pada.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena:
a. Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarah intrakranial. Kelainan konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.

III. Tanda dan gejala
Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksi janin yang menimbulkan tanda:
a. DJJ lebih dari 1OOx/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur.
b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
c. Apnea
d. Pucat
e. Sianosis
f. Penurunan terhadap stimulus

IV. Komplikasi
Meliputi berbagai organ yaitu :
a. Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
b. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru,
edema paru
c. Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans
d. Ginjal : tubular nekrosis akut, siadh
e. Hematologi: dic







V. Data sistem pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Nilai Apgar
Klinis 0 1 2
Detak jantung Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit
Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat
Refleks saat jalan nafas Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
Tonus otot Lunglai Fleksi ekstrimitas (lemah) Fleksi kuat gerak aktif
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah ekstrimitas biru Merah seluruh tubuh





Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar)
b. Pemeriksaan diagnostic:
1. Foto polos dada
2. USG kepala
3. Laboratorium: darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
c. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa Gas darah
2. Elektrolit darah
3. Gula darah
4. Baby gram (RO dada)
5. USG (kepala)
d. Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik seperti:
1. Darah, urine, glukosa darah untuk mengetahui hiperglikemi.
2. Kalsium serum untuk mengetahui hiperkalsemia.
3. Analisa gas darah untuk mengetahui pH serum (asidosis).
4. PaO2, tes untuk hipoksia

VI. Penatalaksanaan klinis
a. Tindakan Umum
1. Bersihkan jalan nafas : kepala bayi dileakkan lebih rendah agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas ayang lebih dalam.
2. Rangsang reflek pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achiles.
3. Mempertahankan suhu tubuh.
b. Tindakan Khusus
1. Asfiksia berat
Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermiten melalui pipa endotrakeal. dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. Tekanan O2 yang diberikan tidak 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan message jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80 –100 x/menit.
2. Asfiksia sedang/ringan
Pasang relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog breathing) 1-2 menit yaitu : kepala bayi ektensi maksimal beri Oz 1-2 1/mnt melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atas-bawah secara teratur 20x/menit.
3. Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi



















VII. Pathofisiologi




Pathway Keperawatan




Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan (imaturitas neurologis) 1. Respiratory status : ventilation
2. Respiratory status : airway patency
3. Vital sign status Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan tekhnik chin lift atau jaw thust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
Oxygen therapi
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor kualitas dari nadi
4. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
5. Monitor suara paru
6. Monitor pola pernafasan abnormal
7. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
8. Monitor sianosis perifer
9. Monitor adanya chusing triad (TD yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
10. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas 1. Respiratory status : ventilation
2. Respiratiory status : airway potency
3. Aspiration control Airway suction
1. Pastikan kebutuhan oral / trakhel suctioning
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang suctioning
4. Minta pasien nafas dalam sebelum suction dilakukan
5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction nasotrakeal
6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
8. Monitor status oksigen pasien
9. Ajarkan bagaimana cara melakukan suction
10. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan badikardi, peningkatan saturasi O2 dll
Airway management
1. Buka jalan nafas, gunakan trkhnik chinleft atau jaw trush bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat 1. Immune status
2. Knowledge : infection control
3. Risk control Kontrol Infeksi:
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
9. Lakukan universal precautions
10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV dan insersi cateter
12. Tingkatkan asupan nutrisi
13. Anjurkan asupan cairan
14. Anjurkan istirahat
15. Berikan terapi antibiotik (kolaborasi)
16. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi
Proteksi Terhadap Infeksi :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Pertahankan tekhnik aseptik pada pasien yang beresiko
7. Pertahankan tekhnik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kulit pada are epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat cukup
14. Ajarkan keluarga tanda dan gejala infeksi
15. Laporkan kecurigaan infeksi
16. Laporkan kultur positif










DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.
Doenges, Marilynn, E., 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
Engram, B 1998, Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, EGC, Jakarta.
Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI, Jakarta.
Manuaba, I, 1997, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta.
NANDA 2005, Nursing diagnoses : Definition and classification 2005-2006, NANDA International, Philadelphia.
Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Purwadianto. A, 2000, Kedaruralan Medik, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Sacharin, R. M., 2000, Prinsip Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta.
Surasmi. A, 2003, Perawatan Bayi Risiko Tingg, EGC, Jakarta.
Wilkinson, J. W 2006, Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria hasil NOC, Edisi 7, EGC, Jakarta.
Wong. L Donna, 2004, Keperawatan Pediatrik, Edisi 1, EGC, Jakarta








VIII. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Pernafasan yang cepat
2. Pernafasan cuping hidung
3. Sianosis
4. Nadi cepat
5. Reflek lemah
6. Warna kulit biru atau pucat
7. Penilaian apgar skor menunjukkan adanya asfiksia, seperti asfiksia ringan (7-10), sedang (4-6), dan berat (0-3)
b. Asuhan Keperawatan berdasarkan pathway keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan (imaturitas neurologis)
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat