LAPORAN PENDAHULUAN
PRE DAN POST OPERASI APPENDICTOMY
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Appendiks (Umbai cacing) mulai dari caecum (Usus Buntu) dan lumen appendiks ini bermuara ke dalam caecum dinding appendiks mengandung banyak folikel getah bening biasanya appendiks terletak pada iliaca kanan di belakang caecum.
Appendiks dapat mengalami keradangan pembentukan mukokel, tempat parasit, tumor benigna atau maligna dapat mengalami trauma, pembentukan pistula interna atau eksterna, kelainan kongenital korpus ileum dan kelaina yang lain. Khusus untuk appendiks terdapat cara prevensi yang hanya mengurangi morbilitas dan mortalitas sebelum menjadi perforasi atau gangren.
Tindakan pengobatan terhadap appendiks dapat dilakukan dengan cara operasi (pembedahan ). Pada operasi appendiks dikeluarkan dengan cara appendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang appendiks.
Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi.
Dengan demikian peranan perawat dalam mengatasi dan menanggulangi hal tersebut sangatlah penting dan dibutuhkan terutama perawatan yang mencakup empat aspek diantaranya : promotif yaitu memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan dirinya dan menjaga kebersihan diri serta lingkungannya.
2. Tujuan
Penyusunan laporan pendahuluan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya :
a. Tujuan Umum
Menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy) melalui asuhan keperawatan yang komperhensif.
b. Tujuan Khusus
1) Mampu mengetahui secara medis tentang cidera kepala sehingga mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy).
2) Mampu melakukan pengkajian, menganalisa dan menemukan masalah keperawatan pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy).
3) Mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan sesuai dengan data yang telah didapat pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy).
4) Mampu membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy).
5) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan dengan optimal pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy).
6) Mampu mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan apendicitis (perioperatif apendictomy).
B. TINJUAN TEORI
1. Pengertian
Appendicitis adalah peradangan pada usus buntu (appendiks), atau radang pada appendiks vermiformis yang terjadi secara akut. Usus buntu merupakan penonjolan kecil yang berbentuk seperti jari, yang terdapat di usus besar, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus halus. Usus buntu mungkin memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang penting. Appendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui dengan pasti, namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu. Appendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6 – 9 cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya appendicitis (radang pada appendiks). Di dalam appendiks juga terdapat imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi dan yang banyak terdapat di dalamnya adalah Ig A. Selain itu pada appendiks terdapat arteria apendikularis yang merupakan endartery. Appendicitis sering terjadi pada usia antara 10-30 tahun.
2. Etiologi
Penyebab appendicitis belum sepenuhnya dimengerti. Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bisa pecah. Usus buntu yang pecah bisa menyebabkan:
a. Masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal.
b. Terbentuknya abses.
c. Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada saluran yang bisa menyebabkan kemandulan.
d. Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.
3. Faktor Predisposisi / Presipitasi
Ada banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi pada lumen appendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.
4. Tanda Dan Gejala
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendicitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena adanya gesekan antara visera yang meradang sehingga menimbulkan rangsangan peritonium. Selain nyeri, gejala appendicitis akut lainnya adalah demam derajat rendah, mules, konstipasi atau diare, perut membengkak dan ketidakmampuan mengeluarkan gas. Gejala-gejala ini biasanya memang menyertai appendicitis akut namun kehadiran gejala-gejala ini tidak terlalu penting dalam menambah kemungkinan appendicitis dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini tidak akan mengurangi kemungkinan appendicitis.
Pada kasus appendicitis akut yang klasik, gejala-gejala permulaan antara lain :
a. Rasa nyeri atau perasaan tidak enak disekitar umbilikus ( nyeri tumpul). Beberapa jam kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan disekitar titik Mc Burney. Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan merasakan sakit yang mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan. Nyeri yang dirasakan tergantung juga pada letak appendiks, apakah di rongga panggul atau menempel di kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi meningkat. Nyeri perut juga akan dirasakan bertambah oleh penderita bila bergerak, bernapas dalam, berjalan, batuk, dan mengejan. Nyeri saat batuk dapat terjadi karena peningkatan tekanan intra-abdomen.
b. Muntah, mual ,dan tidak ada nafas umakan. Secara umum setiap radang yang terjadi pada sistem saluran cerna akan menyebabkan perasaan mual sampai muntah. Meskipun pada kasus appendicitis ini, tidak ditemukan mekanisme pasti mengapa dapat merangsang timbulnya muntah.
c. Demam ringan ( 37,5° C – 38,5° C ) dan terasa sangat lelah
Proses peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya demam, terutama jika kausanya adalah bakteri. Inflamasi yang terjadi mengenai seluruh lapisan dinding appendiks. Demam ini muncul jika radang tidak segera mendapat pengobatan yang tepat.
d. Diare atau konstipasi. Peradangan pada appendiks dapat merangsang peningkatan peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik. Selain itu, appendicitis dapat juga terjadi karena adanya feses yang keras (fekolit). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih parah.
5. Patofisiologi
Patofisiologi appendicitis diawali dengan adanya sumbatan dan penyempitan lumen appendiks. Adanya sumbatan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, termasuk diantaranya : fekolith, hiperplasia jaringan limfoid submukosa, adanya parasit usus, corpua alenium, dan penyakit Crohn. Sekresi mukus dalam lumen appendiks yang terus menerus terjadi menyebabkan lumen appendiks distensi (tekanan intraluminar meningkat). Akibatnya akan memacu terjadinya iskemia jaringan, pertumbuhan bakteri berlebihan, inflamasi / peradangan transmural dan mungkin juga biasa terjadi perforasi. Peradangan mungkin juga bisa cepat menyebar ke peritoneum parietal dan struktur-struktur yang berdekatan. Pada appendicitis kronis obstruksi lumen bersifat partial, jika obstrukasi partial ini berubah menjadi total maka akan berkembang menjadi appendicitis akut.
Appendicitis akut fokal :
Nyeri viseral ulu hati karena regangan mukosa
Nyeri pada titik Mc Burney
Peritonitis lokal
Appendicitis Gangrenosa
Perforasi
Peritonitis umum
6. Komplikasi
Komplikasi paling serius adalah ruptur appendiks. Hal ini terjadi jika appendicitis terlambat didiagnosis atau diterapi. Kasus ini paling sering terjadi pada bayi, anak, atau orang tua.
Bocornya appendiks dapat menyebabkan peritonitis dan pembentukan abses. Peritonitis adalah infeksi berbahaya yang terjadi akibat bakteri dan isi appendiks keluar mencemari rongga perut. Jika tidak diobati dengan cepat, peritonitis dapat berakibat kematian. Abses adalah massa lunak yang berisi cairan dan bakteri, biasanya terbentuk sebagai upaya tubuh untuk melokalisir infeksi.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
a. Pemeriksaan laboratorium, yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %.Sedang pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
b. Pemeriksaan radiologi, yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum
8. Penatalaksanaan Medis
Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif. Ada dua teknik operasi yang biasa digunakan :
a. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat ( sekitar 5 cm ) dibagian bawah kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika appendicitis sudah mengalami perforasi.
b. Laparoscopy : sayatan dibuat sekitar dua sampai empat buah. Satu didekat pusar, yang lainnya diseputar perut. Laparoscopy berbentuk seperti benang halus denagan kamera yang akan dimasukkan melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain. Pengangkatan appendiks, pembuluh darah, dan bagian dari appendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.
C. Asuhan keperawatan
1. Pre Operatif
Pemeriksaan diagnostik
a. Anamnesa
1) Nyeri (mula-mula di daerah epigastrium, kemudian menjalar ke Mc Burney).
2) Muntah (rangsang viseral).
3) Panas (infeksi akut)
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Pada appendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut.
2) Palpasi
Kecurigaan menderita appendicitis akan timbul pada saat dokter melakukan palpasi perut dan kebahagian paha kanan. Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign). Nyeri perut kanan bawah merupakan kunci dari diagnosis appendicitis akut.
Status lokalis
a) Mc.burney :
(1) Nyeri tekan (+)
(2) Nyeri lepas (+) → rangsang peritoneum
(3) Nyeri ketok (+)
b) Defens muskuler (+) →m.rektus abdominis
c) Rovsing Sign (+) → pada penekanan perut bagian kontra Mc Burney (kiri) terasa nyeri di Mc Burney karena tekanan tersebut merangsang peristaltik usus dan juga udara dalam usus, sehingga bergerak dan menggerakan peritoneum sekitar appendiks yang sedang meradang sehingga terasa nyeri.
d) Psoas sign (+) → m psoas ditekan maka akan terasa sakit di titik Mc Burney (pada appendiks retrocaecal) karena merangsang peritoneum sekitar appendicitis yang juga meradang.
e) Obturator sign (+) → fleksi dan endorotasi articulatio costa pada posisi supine, bila nyeri berarti kontak dengan m obturator internus, artinya appendiks di pelvis.
f) Peritonitis umum (perforasi) :
(1) Nyeri di seluruh abdomen
(2) Pekak hati hilang
(3) Bising usus hilang
g) Rectal touche : nyeri tekan pada jam 9 – 12
3) Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk menentukan letak appendiks bila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan colok dubur kemudian terasa nyeri maka kemungkinan appendiks penderita terletak didaerah pelvis.
c. Persiapan Operasi
1) Puasa (mulai dari jam 1 malam)
2) Lavemen
3) Cukur
4) Pemeriksaan EKG
5) Pemeriksaan laboratorium
6) Baju operasi
7) Foto torak
8) Persediaan darah (1 kolf)
9) Inform concent
d. Persiapan saat di ruang penerimaan
1) Mengecek kelengkapan syarat-syarat operasi
2) Mengecek kembali status klien untuk mencocokkan kembali nama pasien, diagnosa medis, tindakan operasi yang akan dilakukan dengan jadwal operasi.
3) Memesan alat habis pakai yang akan dipakai utuk operasi.
4) Memindahkan pasien dan mengantar dari ruang penerimaan ke kamar operasi
5) Melakukan pemeriksaan TTV
6) Mengeksplorasi perasaan klien saat akan menjalani operasi
e. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familiar dengan sumber informasi
f. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi. Control resiko Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteritik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan tekhnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor pencetus nyeri
Pemberian analgetik
1. Tentukan lokasi karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
3. Pilih anakgesik yang iperlukan atau kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu
4. Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
5. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
6. Pilihan rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
7. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat.
2 Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familiar dengan sumber informasi Control resiko Teaching perioperatif
1. Informasikan pada klien dan keluarga tentang jadwal operasi, waktu dan lokasi pembedahan
2. Informasikan pada klien berapa lama waktu operasi yang diharapkan
3. Tanyakan pengalaman klien yang sebelumnya tentang operasi dan level pengetahuannya tentang operasi / pembedahan
4. Minta klien untuk didampingi saat operasi agar cemas berkurang
5. Jelaskan preoperaitf medikasi yang diberikan dan efeknya
2. Intra Operatif
a. Persiapan perawat
1) Mengekspresikan perasaan, memakai baju operasi, masker, topi dan celemek dengan benar.
2) Memberi pengalas pada meja operasi dan mengatur meja operasi serta lampu operasi dengan benar
3) Mengatur meja instrumen dan mengoleskan alkohol pada meja instrumen
4) Menyiapkan basic set, duk steril dan baju operasi diatas meja instrumen
5) Mengantar pasien memasuki kamar operasi
6) Memasang grown couter dan menyiapkan alat suctin serta tempat sampah.
b. Persiapan alat dan ruang
1) Alat steril
Jas operasi, kassa, duk operasi, basic set, couter, ajrum, benang, kom, infus set, bengkok, mess
2) Alat tidak steril
Lampu operasi, mesin couter, mesin anastesi, meja operasi, meja instrumen, tiang infuse, tempat sampah, bantal dan selimut.
3) Bahan medis habis pakai
Mess no 24, kassa (6 bungkus), jarum, alkohol 70 %, (200 ml), betadin (500ml), hibiscrub (200 ml), hypafik (30 cm), sarung tangan 7,5 (4 bh), benang cromic 2/0, benang plain 3/0, benang side 2/0
4) Set yang dipakai (instrumen yang digunakan)
Basic set dan laparatom set yang teriri dari :
Instrumen jumlah Ukuran
Duk klem
Fosrep arteri bengkok panjang
Forsep arteti lurus
Forsep jaringan ellips
Kocher
Gunting diseksi lurus (mayo)
Gunting diseksi bengkok (mayo)
Gunting diseksi metazenbaum
Retractor langenbeck kecil
Neddle holder
Tangkai scapel
Pinset anatomis
Pinset cirurgis
Kom 6
8
4
2
4
1
1
1
2
4
1
2
2
3 11 cm
16 cm
-
15 cm
-
17 cm
23 cm
18 cm
-
15 cm
-
-
-
-
c. Prosedur operasi
1) Klien dianastesi
2) Pada stadium narkose, klien diposisikan dan dicuci daerah yang akan diinsisi dengan savlon.
3) Operator, asisten operator, perawat instrumen dan asissten instrumen mencuci tangan, melakukan growning dan gloving
4) Perawat instrumen mengecek jumlah instrumen dan kasa yang disediakan
5) Pasien didesinfeksi dengan menggunakan alkohol 70 % dan bethadin pada area yang akan diinsisi
6) Melakukan draping
7) Memposisikan meja instrumen dekat dengaan instrumentator
8) Memasang kabel couter
9) Tim operasi siap dan berdoa bersama
10) Insisi digaris lanz atau grid iron melewati titik mac burney , kemudian perdalam insisi lapis per lapis sampai dengan fasia muskulus oblikus eksternus.
11) Fasia dibuka dengan mess diperlebar dengan gunting, dilakukan split terhadap muskulus oblikus eksternus, muskulus oblikus internus dan muskulus transvelsalis abdominis sesuai dengan arah masing-masing serat otot.
12) Tampak peritonium, peritonium diangkat dengan pinset anatomis diterawang hingga tidak terdapat organ intra abdomen yang terikut, peritonium dibuka dengan gunting dan diperlebar sesuai dengan arah insisi kulit.
13) Identifikasi sekum (sekum tampak berwarna lebih putih seperti mutiara) ambil sekum dengan pinset anatomis panjang, sekum diluksir / dikeluarkan dengan cara menariknya ke media kaudal.
14) Tangkap sekum dengan kasa basah. Cari appendiks, kemudian ambil dengan klem alis. Dilakukan appendiktomi dengan cara antegrad atau retrograd (tergantung posisi appendiks).
15) Cek perdarahan dengan menggunakan sluber, masih adakah perdarahan dari arteri appendikularis dan pembuluh darah sekitarnya.
16) Tutup peritonium dengan kromik 2/0, jahitan continous with locking. Aproksimasi muskulus dengan plan cut gut 2/0 secara simpel interupted. Jahit fasia dengan cromik 2/0 continus with locking. Jahit subkutan dengan plan 3/0 simpel interuptid. Jahit kulit dengan jahitan subkutikuler menggunakan monosin 4/0.
17) Operasi selesai
18) Pasien diantar ke RR
d. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cidera posisi operasi berhubungan dengan gangguan persepsi sensori karena anestesi
2) Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan
e. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Resiko cidera posisi operasi berhubungan dengan gangguan persepsi sensori karena anestesi Control resiko Positioning intraoperatif
1. Cek sirkulasi perifer dan neurologis
2. Cek keutuhan kulit
3. Pastikan bed terkunci
4. Kaji kebutuhan tenaga yang cukup utnuk memindahkan klien
5. Lindungi IV line
6. Gunakan alat bantu untuk melindungi ekstremitas
7. Posisikan klien sesuai kebutuhan operasi
8. Gunakan peralatan yang mendukung untuk melindungi ektremitas dan kepala
9. Monitor posisi klien selama operasi
10. Koordinasikan transfer pasien dengan stage anastesi dan level kesadaran.
Surgical precaution
1. Cek monitor ground
2. Pastikan kelengkapan instrumen dan kasa sebelum dan sesudah operasi
3. Hitung kasa dan tampon sebelum dan sesudah operasi
4. Cek pemasangan negative diatermi
5. Gunakan couter sesuai dengan kebutuhan
6. Inspeksi kulit pasien setelah operasi
7. Pindahkan perlatan yang membahayakan klien
2 Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan Control resiko Infection control intraoperatif
1. Jaga kebersihan kamar operasi
2. Pertahankan suhu kamar operasi yang ideal
3. Klasifikasi apakah antibiotik profilaksis sudah diberikan
4. Gunakan prinsip UP
5. Amati keutuhan pak steril dan non steril
6. Bukan dan persiapkan instrumen dengan tekhnik aseptik
7. Pisahkan alat steril dan non steril
8. Lakukan scrubing, growing dan gloving
9. Inspeksi kulir yang akan disinfeksi dan drapping
10. Amati tekhnik aseptic selama operasi berlangsung
11. Bersihkan dan pisahkan set yang telah digunakan
12. Lakukan dressing luka
13. Persiapkan ruangan untuk pasien berikutnya
3. Post Operatif
a. Pengkajian
Operasi selesai pada pukul 12.00 dan klien dipindahkan ke RR dengan menggunakan brankar dengan posisi aman. TTV : TD : 120/80 mmHg, R 22 x/mnt, N 82 x/mnt, S 36,8 C
Aldredte score
Area Pengkajian Poin Nilai
Pernafasan
• Kemampuan untuk bernafas dengan dalam dan batuk
• Upaya bernafas terbatas (dispneu atau membebat)
• Tidak ada upaya spontan
Sirkulasi
• > 80 % dari tingkat pra anastetik
• 50 % - 80 % dari tingkat pra anastetik
• < 50 % dari tingkat pra anastetik
Tingkat kesadaran
• Respon secara verbal terhadap pertanyaan / terorientasi terhadap waktu
• Terbangun ketika dipanggil namanya
• Tidak memberi respon terhadap perntah
Warna
• Warna dan penampilan kulit normal
• Warna kulit berubah : pucat, agak kehitaman, keputihan, ikterik
• Sianosis
Aktivitas
Bergerak secara spontan atau atas perintah :
• Kemampuan untuk menggerakan semua ekstremitas
• Kemampuan untuk menggerakan 2 ekstremitas
• Tidak mampu untuk mengontrol setiap ekstremitas
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
b. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko jatuh berhubungan dengan kondisi post operasi
c. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Resiko jatuh berhubungan dengan kondisi post operasi Control resiko Fall prevention
1. Pindahkan klien dengan jumlah personal yang cukup
2. Kunci roda bed
3. Posiiskan klien di tempat tidur cukup terang
4. Pasang side rail bed
5. Awasi klien di RR
Post anastesia general
1. Monitor oksigenasi
2. Monitor tingkat kesadaran
Daftar Pustaka
Bruner dan Suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, EGC, Jakarta.
Carpenito,LJ, 1999, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, EGC, Jakarta.
Cecily L.Betz & Linda A. Sowden, 2001, Buku saku Keperawatan Pediatri, EGC, Jakarta.
Irga. 2007. Appendicitis Akut. www.irwanashari.blogspot.com.
Markum. A.H.1991, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.
McCloskey J.C, Bulechek G.M, 1996, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby, St. Louis.
Nanda, 2001, Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2001-2002, Philadelphia. .
Potter & Perry, 1999, Fundamental of Nursing ke Depan, EGC, Jakarta.
Price & Wilson,1995, Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddarth. EGC; Jakarta.
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar